SURAT - 4

New York, 10 Mei 1919


nona May yang kuhormati,

Bersama ini aku sertakan kopi pertama Prosesi yang baru kuterima. Akan kutemukan semua mimpi, yang sebagaimana adanya, tampak setengah nyata setengah kabut. Jika kebetulan engkau menyukai segala sesuatunya, maka pengakuanmua itu akan pulang kembali menjadi penghormatan yang nyata; jika tidak, semuanya akan kembali pada kabut.

Salam dan penghormatanku selalu untukmu, dan semoga Tuhan menjaga dan melindungimu.


Salam,


Gibran Khalil Gibran

SURAT - 3

New York, 7 Februari 1919


nona May yang terhormat,

Suratmu mengingatkan aku kembali akan “kenangan seribu musim semi dan seribu musim gugur”, dan terbayanglah diriku berdiri di depan hantu-hantu itu yang raib dan bersembunyi dalam kesunyian segera setelah gunung berapi meletus di Eropa –ya, betapa lama kesunyian itu.

Tahukah engkau, kawan, bahwa biasanya aku menemukan pelipur lara, persahabatan, dan kesenangan dalam percakapan kita yang sering terputus itu? Dan tahukan engkau bahwa biasanya aku berkata dalam hati, “Di sanalah, nun jauhdi Timur, seorang yang lain dari gadis-gadis lain yang suadah memasuki kuil, bahkan sebelum ia lahir, telah berdiri di dalam tempat yang paling Kudus, dan telah mengetahui rahasia agung yang dijaga oleh ‘rahsasa-raksasa fajar’. Demikianlah dia, yang mengangkat negeriku menjadi negerinya. Tahukan engkau bahwa aku sering membisikan lagu pujian ini pada telinga bayanganku setiap kali aku menerima surat darimu? Jika engkau mengetahuinya, kiranya engkau tak akan berhenti menulis padaku –dalam pada itu engkau tahu pula mengapa engkau berhenti menulis—keputusan yang bukan tanpa kebijaksanaan dan pertimbangan yang baik.

Mengapa artikel tentang Sphinx, siapa yang tahu bahwa bukan aku yang memintanya terus-menerus kepada pemilik Al-Founoon –semoga Tuhan mengampuninya. Hal itu berlawanan denga sikapku yang suka memesan karya tulis pada penyair, terutama pada lingkunga kecil yang menemukan ilham hanya dari saran kehidupan sendiri; dan engkau termasuk dalam lingkungan ini. Lagi pula, aku tahu bahwa seni memang menandun tuntunan, meskipun tuntunan tidak dapat dibuat dari seni; dan bahwa sesuatu dalam tuntunan itu yang dapat mengurangi kesempurnaannya yang hakiki sebagai seniman. Andaikata engkau lantas menulis, “Kurasa aku tidak suka menulis artikel mengenai Sphinx sekarang”, maka aku akan bersorak, “Hidup May, ia punya watak artistik yang dapat diandalkan!”. Inti masalahnya ialah bahwa aku akan mendahuluimu menulis arrtikel tentang senyum Sphinx, sesudah itu aku akan menulis sajak tentang senyum Sphinx, dan jika aku punya lukisan senyumnya akan melukiskannya sekarang. Tapi aku harus mengunjungi Mesir guna melihat May dan senyumnya. Dan apakah yang bisa dikatakan oleh penyair tentang senyum seorang wanita? Apakah Leonardo da Vinci tidak mengucapkan sesuatu pernyataan tentang “Monica Lisa”-nya? Namun demikian, bukankah dalam senyum seorang dara Lebanon terdapat rahasian yang perlu dilihat dan digambarkan oleh pria Lebanon? Atau adakah wanita, apakah ia wanita Lebanon atau Italia, yang senyumnya menyembunyikan rahasia keabadian di balik cadar lembut susunan bibirnya?

Dan Si Gila—apa yang hendak kukatakan tentang Si Gila? Kukatakan di dalam nya terdapat unsur “kebengisan”, malam unsur “gua-gua gelap”, tapi aku tak pernah terpikir akan kritik semacam itu sebelumnya, walaupun aku banyak membaca apa yang dikatakan oleh surat khabar dan majalah di Amerika dan Eropa mengenai buku kecil ini. Yang menerik, kebanyakan penulis Barat menyukai dua bab yang berjudul “Temanku” dan “Para Pejalan Tidur”, yang diberinya tanggapan khusus; tapi engkau, Kawanku, melihat ada kebengisan di dalamnya. Apakah untungnya bagi seseorang jika ia memperoleh pengakuan dari seluruh dunia tapi tidak dari May? Adapun alasan yang menyebabkan orang-orang barat itu begitu senang akan Si Gila dan impiannya ialah bahwa mereka sudah bosan dengan impian mereka sendiri, dan punya kelemahan pembawaan terhadap sesuatu yang asing dan aneh, apalagi jika itu diberi baju Timur. Tapi mengenai parabel dan sajak-sajak yang dimuat dalam Al-Founoon, semua diterjemahkan diterjemahkan dalam bahawa Ingris oleh seorang pengarang yang cintanya terhadapku agak melebihi pengetahuannya tentang sulitnya lidah Inggris.

Aku telah mengingkarinya dengan tinta merah kata “muak”, yang tampak dalam tanggapanmu mengenai Si Gila; dan ini kulakukan kerena aku tahu, jika engkau memperhatikan “Para Pejalan Tidur” dan menghubungkan ucapan-ucapan Si Ibu dan Si Anak Perempuan dengan personifikasi “Kemarin” dan “Esok”, sebaiknyalah engkau mengganti kata “muak” dengan kata lain, bukan?

Apakah yang hendak kukatakan tentang gua-gua dalam jiwaku? Gua-gua yang mengerikan bagimu – ya, aku mencari perlindungan setelah aku makin bosan terhadap perilaku manusia, terhadap ladang-ladang suburnya yang justru menyakitkan hati dan hutan-hutannya yang terlalu merimba. Aku menarik diri ke dalam gua-gua jiwaku bila aku tidak menemukan tempat lain guna membaringkan kepalaku; dan jika beberapa di antara mereka yang kucintai memeliki keeranian memasuki gua-gua ini. Mereka tidak menjumpai sesuatu kecuali seorang manusia yang bersujud mengucapkan doanya.

Aku senang, tiga ilustrasi dan Si Gila kauanggap bagus, dan itu merupakan petunjuk bahwa engkau memiliki mata (penglihatan) ketiga pada kedua belah matamu, karena aku pun mengetahui di balik telingamu terdapat telinga lagi yang ersembunyi, yang dapat mendengarkan bunyi yang amat indah laksana keheningan—bunyi yang tidak diciptakan oleh bibir dan lidah, tapi yang berasal dari balik lidah dan bibir, bunyi kesunyian yang manis, bunyi kegembiraan dan kepedihan, dan bunyi kerinduan akan sesuatu yang tidak dikenal nun di dunia yang jauh.

Bila aku menjelaskan bahwa “Mereka yang memahami kita, menundukkan sesuatu dalam diri kita”, engkau bertanya apakah aku menyerupai seseorang agar seseorang daat memahami. Tidak! Tidak! Aku tidak menginginkan seseorang manusia memahami diriku jika punya arti menuntut perbudakan roaniah. Banyak orang yang dapat memahami dirinya karene mereka menemukan dalam tindak-tanduk “luar” kita agar dekat dengan apa yang mereka alami sekali saja dalam hidupnya. Tidaklah cukup (bagi mereka) untuk mengakui bahwa mereka mengetahui rahasia –rahasia dalam diri kita yang tidak kita ketahui—tapi mereka mengharuskan diri mencatat dan memberi kita suatu sebutan, dan menempatkan kita dalam salah satu di antara banyak kelompok pemikiran dan gagasan, seperti ahli kimia yang lagi menghadapi botol-botol obat dan bubuk. Penulis yang menuduhmu meniru aku dalam beerapa tulisan – bukanlah mereka termasuk orang-orang yang mengaku kiranya bagimu untuk meyakinkannya, bahwa kebebasan merupakan garis awal bagi jiwa untuk bergerak maju, dan bahwa pohon Eik tak dapat tumbuh di bawah bayangan pohon Wilo, begitu pula sebaliknya.

Telah sampai disini tulisanku, namun sedikit pun belum menyebutkan maksud seperti yang hendak kukatakan tatkala mengawali suratku ini tadi. Siapa diantara kita berdua yang mampu menjelmakan kabut yang halus menjadi patung atau sosok pahatan? Tapi sang dara Lebanon yang mampu mendengar bunyi di balik bunyi itu tentu dapat melihat dengan terang perwujudan maupun roh yang berada dalam kabut.

Semoga jiwamu yang indah dan hatimu yang mulia berada dala ketentraman. Tuhan melindungimu.

Salamku,

Gibran Khalil Gibran

SURAT - 2

New York, 24 Januari 1919


nona Ziadah yang terhormat,

Semoga hatimu yang baik dan indah berada dalam ketentraman. Hari ini aku menerima nomor-nomor terbitan Al-Muqtattaf pemberianmu, dan kubaca artikel-artikelmu satu demi satu dengan senang sekali beserta kekaguman. Dalam artikel-artikelmu kutemukan pengantar mengenai segala kecenderungan dan kecondongan yang telah begitu lama menarik-narik hatiku dan menggayuti mimpiku; tapi ada juga teori dan asas lain yang kuharapkan dapat kita perbincangkan dalam temu muka. Seandainya aku sekarang ada di Kairo, aku hendak meminta izin untuk mengunjungimu dan memperbincangkan secara rinci (pokok-pokok masalah) seperti “roh-roh berbagai tempat”, “akal dan rasa” dan beberapa aspek filsafat Henri Bergson. Tetapi Kairo berada jauh di Timur dan New York terletak jauh di Barat, padahal tidak ada jalan yang dapat digunakan untuk mengadakan perbincangan seperti harapan dan keinginanku.

Artikel-artikelmu yang jelas menunjukkan betapa tinggi bakatmu, mampu memahami bacaan secara tuntas, dan memiliki selera halus dalam menyaingi dan memilih bahan dengan segala hubungannya. Artikelmu pun secara jernih memantulkan pengalaman diri pribadi., sehingga membuat riset-risetmu menjadi yang terbaik di antara sesama jenisnya dalam bahasa Arab. Aku menganggap pengalaman dan keyakinan pribadi lebih utama dari pada segala jenis pengetahuan demi pekerjaan.

Tapi padaku ada pertanyaan, dan kuharap engkau memperbolehkan aku mengajukannya padamu. Persoalannya begini: Tak mungkinkah saatnya tiba bagi bakat besarmu untuk diabadikan selanjutnya guna mengungkapkan rahasia inti pribadimu, pengalaman-pengalaman khusus dan kegaiban-kegaiban agung pribadimu itu? Bukankah keindahan kreativitas lebih abadi dari pada kajian terhadap orang-orang yang kreatif? Apakah engkau tidak yakin bahwa karya cipta puisi atau prosa lebih berharga dari pada tesis tentang penyair dan puisi? Sebagai salah seorang pengagummu, aku lebih ingin membaca sajakmu tentang senyum Sphinx misalnya, dari pada membaca artikelmu mengenai sejarah kesenian Mesir dan perkembangannya dari abad ke abad atau dari dinasti ke dinasti. Sebab, dengan menulis sajak mengenai senyum Sphinx, engkau memberiku sesuatu yang bersifat pribadi, sedangkan menulis tesis mengenai sejarah Mesir engkau mengharapkan aku pada pengetahuan yang umum.

Tapi, apa yangaku ketahui bukannya tidak dapat ditunjukkan dengan kemampuan dalam mengungkapkan pengalaman pribadi yang subyektif bila menulis mengenai sejarah kesenian Mesir. Namun demikian, aku berpendapat bahwa kesenian –ekspresi dari pada segala yang mengalir, bergerak dan menjadi saripati jiwa seseorang—lebih sesuai dan mengena pada bakatmu yan khas dari pada bidang riset—ekspresi dari pada segala yan mengalir, bergerak dan menjadi saripati masyarakat.

Apa yang kukatakan tadi tidaklah lain dari pada sebuah permintaan atas nama kesenian. Kuajukan permintaan itu kepadamu karena aku ingin menarikmu pada lapangan yang mempesona ini, dan di situlah engkau akan bertemu dengan Sappho, Elizabeth Browning, Olive Schreier dan saudari-saudarimu yang telah mendirikan tangga emas dan gading antara bumi dan langit.

Semoga engkau dapat mengetahui kekagumanku, dan sudi apalah kiranya menerimamu penghormatan dari lubuk hatiku. Kudoakan, Tuhan melindungimu.

Salam

Gibran Khalil Gibran

SURAT - 1

New York, 2 Januari 1919


Sastrawati yang terhormat dan mulia,

Banyak persoalan kupikirkan selama membisu dalam bulan-bulan terakhir ini, bulan-bulan yang lewat tanpa menerima jawaban atau surat, namun dalam diriku tak pernah terlintas pikiran bahwa engkau “jahat”. Tapi sekarang engkau malahan mengaku adanya kejahatan dalam hatimu. 09/04/2008 Benar dan tepat kiranya bila aku terpaksa mempercayaimu, karena aku percaya dan yakin akan setiap kata yang kau ucapkan! Sudah barang tentu engkau merasa bangga saat mengatakan, “Aku Jahat”, dan engkau berhak merasakan bangga karena kejahatan benar-benar merupakan kekuatan yang dapat menandingi kebaikan dalam segi daya dan pengaruhnya. Tapi, izinkan aku memberi tahu, bahwa betapa hebat engkau malakukan kejahatan, kiranya belumlah sampai separo kejahatanku, karena diriku ini sejahat hantu hitam yang menjaga gerbang Neraka. Dan tentu saja engkau akan mempercayai kata-kataku ini.

Tapi sampai sekarang aku tak mampu memahami apa yang membuatmu bangga menggunakan kata “kejahatan” sebagai senjata terhadapku. Sudi apalah engkau melengkapinya dengan penjelasan. Aku telah menjawab setiap surat yang kau kirimkan beserta segala kebaikan hatimu, dan aku pun terus meneliti makna setiap ucapan yang kau bisikan pada telingaku. Adakah sesuatu yang masih perlu kulakukan? Apakah engkau tidak membayangkan sesuatu dosa, sehingga kepadaku engkau memperlihatkan kekuasaan dan menjatuhkan hukuman yang berat? Tentunya engkau berhasil secara mengagumkan, dan aku pun percaya ada “hypostasis” yang menggabungkan pedang “Kali”, dewi Hindu, dan panah “Diana”, pujaan orang Yunani.

Kini setelah kita saling mengetahui kejahatan yang ada dalam hati masing-masing, dan niat hendak memberikan hukumannya, marilah kita sekali lagi melanjutkan percakapan yang telah kita mulai dua tahun yang lalu.

Bagaimana keadaanmu dan kesehatan? Apakah engkau sehat-sehat saja dan “menikmati kegiatan” seperti kata orang Lebanon? Apakah tanganmu yang sebelah juga terkilir di musim gugur yang lalu, atau ibumu melarangmu naik kuda agar engkau nanti dapat kembali ke Mesir dengan kedua belah tangan yang sehat? Mengenal kesehatanku, sangat mirip dengan pemabuk yang merancau terus; selama musim panas dan musim gugur aku berkelana di antara puncak-puncak gunung dan pantai laut, dan kembali ke New York dengan muka pucat dan tubuh kurus guna melanjutkan pekerjaanku dan memperjuangkan impianku --- impian yang melambangkan diriku ke puncak gunung dan menghumbalungkan kembali ke ceruk lembah.

Aku gembira karena engkau senang akan Al-Founoon, bacaan berkala yang terbaik diantara jenisnya di dunia Arab. Adapun pemiliknya –ia anak muda yang baik hati, tajam pikiran dan dikenal pula lantaran beberapa tulisannya yang bagus serta sajak-sajaknya yang diterbitkan dengan nama samaran “Aleef”. Yang mengagumkan pada orang ini adalah bahwa ia bukan saja membaca segala hal yang ditulis oleh orang-orang Eropa, tapi juga menyerapnya. Mengenai teman kita Ameen Rihani, ia sudah menerbitkan novel barunya yang panjang dalam Al-Founoon. Ia pernah memperlihatkan padaku sebagian besar bab-babnya, dan aku berpendapat novel itu amat indah. Aku telah memberi tahu pemilik majalah itu bahwa, atas namamu, aku akan menyampaikan artikel, dan ia menyambutnya dengan hangat.

Dengan kecewa sekali aku terpaksa mengatakan bahwa aku tidak dapat memainkan alat musik apa saja, tapi aku mencintai musik seperti aku mencintai hidup, dan aku ingin sekali mengetahui dasar dan strukturnya serta memperdalam pengetahuanku mengenai sejarah, asal-usul dan perkembangannya. Dan jika berhasil, aku akan menulis esai panjang tentang aspek-aspek komposisi musik Arab dan Persia. Demikian pula cintaku pada musik Barat dan Timur. Jarang sekali dalam seminggu aku tidak menonton opera sekali atau dua kali, walaupun diantara semua musik Eropa aku lebih menyukai karya-karya yang dikenal sebagai Simfoni, Sonata, dan Kantata, karena opera tidak mengandung kesederhanaan artistik yang serasi dengan kesukaanku, sehingga mudah untuk memilih mana yang kusukai dan mana yang tidak. Dan bolehlah aku berterus terang betapa iri hatiku terhadap ‘aud, kecapi, yang kupegang begitu erat; terimalah penghargaanku manakala engkau sudi memainkan “Nuwahand” pada dawai-dawai kecapim, karena itulah lagu kesayanganku. Penghargaan dan penghormatan yang tulus ini mengingatkan aku pada penghargaan dan penghormatan Caryle pada Nabi Muhammad.

Sudi apalah kiranya engkau mengingat diriku sejenak bila engkau sedang berdiri di depan Sphinx yang agung? Ketika aku mengunjungi Mesir, dua kali dalam seminggu aku duduk berjam-jam di atas pasir yang keemasan itu, sedang mataku menatap piramida dan Sphinx. Kala itu aku pemuda berumur delapan belas tahun, dan jiwaku gemetar menyaksikan ciptaan seni yang sedemikian itu, seperti ilalang yang gemetar menjelang prahara. Sphinx tersenyum padaku dan mengisi hatiku dengan duka cita yang indah dan sukacita yang gundah.

Sama denganmu, aku pun pengagum Dr. Shumayyel, satu diantara sedikit orang yang dihasilkan oleh Lebanon sebagai tokoh yang dapat melahirkan renaissance baru di Timur Tengah, dan aku pun yakin bahwa Timur amat membutuhkan manusia seperti Dr. Shumayyel guna melawan pengaruh yang ditinggalkan oleh kaum “berbudi dan mistik” di Mesir dan Siria.

Apakah engkau telah membaca buku berbahasa Perancis karangan Khairallah Effendi Khairallah? Aku belum pernah melihatnya, tapi seorang teman memberitahu padaku, buku itu memuat juga sebuah bab mengenai engkau dan bab lain mengenai aku. Maka jika engkau mempunyai dua buah, kirimkanlah salah satunya kepadaku, dan semoga Tuhan memberimu pahala. Sudah larut malam sekarang, maka selamat malam dan semoga Tuhan melindungimu.

Salam,

Gibran Khalil Gibran

PENGANTAR

Dekatkan dahimu, Mariam, ya, dekatkan padaku. Ada sekuntum mawar putih dalam hatiku yang ingin kusemaikan di dekat dahimu. Betapa manisnya cinta bila mawar itu gemetar menahan malu ...

(Nukilan dari surat Khalil Gibran kepada May Ziadah)


Saya tenggelam di bawah cakrawala nun jauh di sana, dan di sela awan-awan senja yang bentuknya nan mempesona, muncullah sekunar bintang. Bintang Johar, Sewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang itu juga dihuni oleh insan seperti kita, yang saling mencintai dan mendendam rindu ...?

(Nukilan dari surat May Ziadah kepada Khalil Gibran)


Untaian kalimat semi kalimat Khalil Gibran yang puitis dan mengandung makna kefilsafatan, dikenal oleh para meninat sastra di seluruh dunia, terutama melalui buah penanya The Prophet (Sang Nabi) , yang telah terbit dalam dua puluh bahasa.

Kepunjanggaan Gibran niscaya tidak terlepas dari latar belakang hidupnya, perkembangan pandangan hidupnya, serta berbagai peristiwa yan dialaminya, dikajinya, direnunginya.

Sebagai orang ebanon kelahiran Bishari tahun 1883, meskipun sejak remaja telah bermigrasi bersama ibunya ke Boston, Amerika Serikat, dan kemudian ke New York, tapi keakrabannya dengan alam pegunungan tanah kelahirannya kerap kal muncul dalam kenangan, dan amat mempengaruhi daya pengucapan artistiknya. “Bagiku Lebanon merupakan ekspresi poetika, bukan nama sebuah gunung”, kata Gibran.

Masa kepengarangan Gibran terbagi dalam dua tahap; tahap pertama mulai tahun 1905 dengan karya-karyanya yang berbahasa Arab:

  • Al-Musiqah (Musik; 1905)
  • Ara’is Al-Muruj (Putri-Putri Lembah; 1906)
  • Al-Arwah Al Mutamarridah (Arwah Pemberontak; 1908)
  • Al-Ajniha’l Mutakassirah (Sayap-Sayap Patah; 1912), dan
  • Dam’ah Wa’Ibtidamah (Air Mata dan Senyum; 1914)

Tahap kedua mulai tahun 1918 dengan menulis buku-bukunya yang berbahasa Inggris antara lain yang terkenal :

The Madman (Si Gila; 1918)

  • The Prophet (Sang Nabi; 1923)
  • Sand and Foam (Pasir dan Buih; 1926)
  • The Wanderer (Sang Musafir; 1932)
  • The Garden of The Prophet (Taman Sang Nabi; 1933)

Dan judul terakhir terbit secara anumerta. Namun dalam tahap ini ia menghasilkan pula tiga buah karya dalam bahasa Arab:

  • Al-Muwakib (Profesi; 1919)
  • Al-‘Awasif (Prahara; 1920)
  • Al Badayi’i Wa’l Tarayif (Kata-Kata Mutiara; 1923)

Dalam tahap pertama masa kepengarangannya ia kerap menuarakan kepedihan dan kekecewaan hati manusia, tapi juga menyarankan perlunya perubahan tata masyarakat demi keluhuran budi. Ia pun mengecam ketidak adilan terhadap wanita, penjajahan rohani, dan kecurangan. Perhatiannya tertuju pada alam “di seberang cakrawala”, alam semesta, penitisan, dan perlambang alam. Setelah kepindahannya ke New York, sekalipun ia terkesan oleh penemuan teknologi modern, tapi baginya segala ciptaan Tuhan seperti bintang, kembang, dan kabut, merupakan dunia tersendiri yang mengandung keindahan semesta.

Sebagai manusia Gibran pun mengenal cinta, dan memandang cinta sebagai sesuatu yang suci, yang ilahiah. Ia pun merasakan kekecewaaan dan kegetiran cinta, tapi tapi mampu menghayati dan mengagungkan madu cinta. Pernah hatinya tertabat pada seseorajng wanita yang benar-benar dicintainya --- seorang Lebanon, May Ziadah namanya. Siapa dia?

Wanita ini adalah sastrawati dan kritikus Arab yang terkemuka pada tiga dasawarsa pertama abad ini. Dia anak tunggal Elias Zakhur Ziadah, dan dilahirkan di Nasareth, Palestina, tahun 1886. tahun 1908 Elias Zakhur Ziada pindah ke Kairo; di sana akhirnya ia menjadi direktur harian Al-Mahrousah. Adapun May yang berpendidikan dan cerdas, berhasil mengembangkan bakatnya di Kairo, yang waktu itu menjadi pusat perkembangan sastra Arab. Di tahun 1911 May untuk pertama kali menerbitkan bukunya Fleurs de Reve (Bunga-bunga Inpian), dengan nama samaran Isis Copia, yang menunjukkan kecendekiaan dan ketekunannya. Secara teratur ia memuatkan artikelnya dalam harian dan majalah terkemuka, antara lain dalam Al-Mahrousah, Al-Ahram, Al-Hilal, Al-Muqattam, Al-Muqtattaf, majalah berbahasa Perancis Progres Egyptein dan majalah berhasa inggris Egyptan Mail. Tulisannya yang berupa resensi dan sorotan sastra menyebabkannya berkenalan dengan Khalil Gibran. Walaupun keduanya hanya saling mengenal melalui surat, akhirnya tumbuhlah hubungan cinta, yang semakin mendalam, mencapai keseimbangan, keselarasan, dam pengertian.

May banyak bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh sastra Arab, dan buah pikirannya diakui oleh banyak pihak memang berpengaruh pada perkembangan sastra Arab moderen. Kecendekiaannya dan kecantikannya menarik perhatian dan pujian dari tokoh-tokoh sastra seperti Lutfi Al Sayyid, Taha Hussein, Yaqoub Sarrouf, Mustafa Sadek al-Rafi’i, Edgar Jallad dan lain-lain. Kepandaian, gagasan, dan penampilannya sering menjadi ilham bagi sastrawan lain. Ia pun tampil dalam gerakan emansipasi wanita.

Antara tahun 1927 dan 1931 ia kehilangan empat orang yang paling disayangi dan dicintainya: ayahnya, ibunya, Ya’ coub Sarrouf ---teman dalam bidang sastra yang setia dan sepaham, dan Khalil Gibran--- pria yang benar-benar dicintainya. Kesehatan badanyya menurun, sehingga perlu mengadakan perjalanan tetirah ke Perancis, Inggris, dan Italia. Seorang temannya mengatakan, bahwa May pernah berusaha bunuh diri, tetapi berhasil diselamatkan. Dan seorang sahabatnya yang lain, Ameen Rihani, berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya sehingga bersedia kembali dalam kegiatan sastra. Pada tahun 1938 May sanggup berdiri di mimbar American University, Beirut, memberikan kuliah berjudul “Amanah Penulis bagi Kehidupan Arab”. Namun demikian ia lebih suka menyepi, dan meskipun memutuskan untuk kembali ke Kairo, kesehatannya tidak sempurna. Tiga tahun kemudian ia meningga dalam kesunyian. Namun ia sadar dan dapat menerima kegetiran hidupnya, sebagaimana ucapannya pada hari-hari terakhir hidupnya, “penderitaan besar adalah pengkudusan agung ...”.

Hubungan cinta antara Khalil Gibran dan May Ziadah niscaya merupakan hubungan cinta yang cukup aneh dan menarik –keduanya terpisah jauh, May di Kairo dan Gibran di New York, belum pernah bertemu muka. Hubungan mereka hanya terbatas pada surat, namun dapat membayangkan cinta masing-masing melalui khayalan dan mimpi, melalui perjalanan roh masing-masing agar dapat bersama-sama menemukan kebenaran yang sejati dan abadi.

Surat-surat antar Gibran dan May itu bermula tahun 1912, dan berlanjut sampai tahun 1931 tahun kematian Gibran. Mula-mula surat-surat itu merupakan tukar-menukat pendapat, disertai pujian dan kritik. May memang sudah membaca Sayap-sayap Patah sebelum menulis surat pertamanya kepada Gibran. Ia memuji gaya yang digunakan Gibran dalam menulis novel itu, tapi ia menyatakan tidak bersimpati terhadap tokoh utama wanita, Selma, seorang istri yang “bertemu” dengan kekasih rahasianya selagi berdoa. Surat-surat selanjutnya makin mengeratkan hubungan batin, bahkan menumbuhkan cinta yang mendalam.

Tidak semua surat dari kedua belah pihak dapat sitemukan. Sebagian di antara surat-surat yang tersimpan belum diizinkan untuk diterbitkan oleh keluarga yang bersangkutan. Betapa halus cinta May kepada Gibran terlukis dalam surat gadis itu:

“.... tidak mungkin Bintang Johar itu seperti aku juga: ia mempunyai Gibran-nya sendiri --- yang berada nun jauh disana, tapi sebenarnya amat dekat di hatinya. Dan tidak mungkinkah pula Bintang Johar itu sedang menulis surat kepada Gibran-nya. Saat ini juga, saat senjakala bergetar di ujung cakrawala, karena tahu bahwa gelap akan melulur senja, dan esok terang pun akan mengusir gelap; ia pun sadar bahwa malam akan menggantikan siang, siang pun besok menggantikan malam, silih berganti terus-menerus, sampai kelak ia dapat bertemu dengan kekasihnya itu. Saat ini keheningan ujung senja pun telah memeluknya, diikuti dengan kesunain malam. Ditaruhnya penanya, lalu berlindung dari kegelapan di balik tameng sebuah nama: Gibran....”

Purwokerto, September 2007

Bala-Gibran

Cover Surat Cinta Khalil Gibran untuk May Ziadah