SURAT - 1

New York, 2 Januari 1919


Sastrawati yang terhormat dan mulia,

Banyak persoalan kupikirkan selama membisu dalam bulan-bulan terakhir ini, bulan-bulan yang lewat tanpa menerima jawaban atau surat, namun dalam diriku tak pernah terlintas pikiran bahwa engkau “jahat”. Tapi sekarang engkau malahan mengaku adanya kejahatan dalam hatimu. 09/04/2008 Benar dan tepat kiranya bila aku terpaksa mempercayaimu, karena aku percaya dan yakin akan setiap kata yang kau ucapkan! Sudah barang tentu engkau merasa bangga saat mengatakan, “Aku Jahat”, dan engkau berhak merasakan bangga karena kejahatan benar-benar merupakan kekuatan yang dapat menandingi kebaikan dalam segi daya dan pengaruhnya. Tapi, izinkan aku memberi tahu, bahwa betapa hebat engkau malakukan kejahatan, kiranya belumlah sampai separo kejahatanku, karena diriku ini sejahat hantu hitam yang menjaga gerbang Neraka. Dan tentu saja engkau akan mempercayai kata-kataku ini.

Tapi sampai sekarang aku tak mampu memahami apa yang membuatmu bangga menggunakan kata “kejahatan” sebagai senjata terhadapku. Sudi apalah engkau melengkapinya dengan penjelasan. Aku telah menjawab setiap surat yang kau kirimkan beserta segala kebaikan hatimu, dan aku pun terus meneliti makna setiap ucapan yang kau bisikan pada telingaku. Adakah sesuatu yang masih perlu kulakukan? Apakah engkau tidak membayangkan sesuatu dosa, sehingga kepadaku engkau memperlihatkan kekuasaan dan menjatuhkan hukuman yang berat? Tentunya engkau berhasil secara mengagumkan, dan aku pun percaya ada “hypostasis” yang menggabungkan pedang “Kali”, dewi Hindu, dan panah “Diana”, pujaan orang Yunani.

Kini setelah kita saling mengetahui kejahatan yang ada dalam hati masing-masing, dan niat hendak memberikan hukumannya, marilah kita sekali lagi melanjutkan percakapan yang telah kita mulai dua tahun yang lalu.

Bagaimana keadaanmu dan kesehatan? Apakah engkau sehat-sehat saja dan “menikmati kegiatan” seperti kata orang Lebanon? Apakah tanganmu yang sebelah juga terkilir di musim gugur yang lalu, atau ibumu melarangmu naik kuda agar engkau nanti dapat kembali ke Mesir dengan kedua belah tangan yang sehat? Mengenal kesehatanku, sangat mirip dengan pemabuk yang merancau terus; selama musim panas dan musim gugur aku berkelana di antara puncak-puncak gunung dan pantai laut, dan kembali ke New York dengan muka pucat dan tubuh kurus guna melanjutkan pekerjaanku dan memperjuangkan impianku --- impian yang melambangkan diriku ke puncak gunung dan menghumbalungkan kembali ke ceruk lembah.

Aku gembira karena engkau senang akan Al-Founoon, bacaan berkala yang terbaik diantara jenisnya di dunia Arab. Adapun pemiliknya –ia anak muda yang baik hati, tajam pikiran dan dikenal pula lantaran beberapa tulisannya yang bagus serta sajak-sajaknya yang diterbitkan dengan nama samaran “Aleef”. Yang mengagumkan pada orang ini adalah bahwa ia bukan saja membaca segala hal yang ditulis oleh orang-orang Eropa, tapi juga menyerapnya. Mengenai teman kita Ameen Rihani, ia sudah menerbitkan novel barunya yang panjang dalam Al-Founoon. Ia pernah memperlihatkan padaku sebagian besar bab-babnya, dan aku berpendapat novel itu amat indah. Aku telah memberi tahu pemilik majalah itu bahwa, atas namamu, aku akan menyampaikan artikel, dan ia menyambutnya dengan hangat.

Dengan kecewa sekali aku terpaksa mengatakan bahwa aku tidak dapat memainkan alat musik apa saja, tapi aku mencintai musik seperti aku mencintai hidup, dan aku ingin sekali mengetahui dasar dan strukturnya serta memperdalam pengetahuanku mengenai sejarah, asal-usul dan perkembangannya. Dan jika berhasil, aku akan menulis esai panjang tentang aspek-aspek komposisi musik Arab dan Persia. Demikian pula cintaku pada musik Barat dan Timur. Jarang sekali dalam seminggu aku tidak menonton opera sekali atau dua kali, walaupun diantara semua musik Eropa aku lebih menyukai karya-karya yang dikenal sebagai Simfoni, Sonata, dan Kantata, karena opera tidak mengandung kesederhanaan artistik yang serasi dengan kesukaanku, sehingga mudah untuk memilih mana yang kusukai dan mana yang tidak. Dan bolehlah aku berterus terang betapa iri hatiku terhadap ‘aud, kecapi, yang kupegang begitu erat; terimalah penghargaanku manakala engkau sudi memainkan “Nuwahand” pada dawai-dawai kecapim, karena itulah lagu kesayanganku. Penghargaan dan penghormatan yang tulus ini mengingatkan aku pada penghargaan dan penghormatan Caryle pada Nabi Muhammad.

Sudi apalah kiranya engkau mengingat diriku sejenak bila engkau sedang berdiri di depan Sphinx yang agung? Ketika aku mengunjungi Mesir, dua kali dalam seminggu aku duduk berjam-jam di atas pasir yang keemasan itu, sedang mataku menatap piramida dan Sphinx. Kala itu aku pemuda berumur delapan belas tahun, dan jiwaku gemetar menyaksikan ciptaan seni yang sedemikian itu, seperti ilalang yang gemetar menjelang prahara. Sphinx tersenyum padaku dan mengisi hatiku dengan duka cita yang indah dan sukacita yang gundah.

Sama denganmu, aku pun pengagum Dr. Shumayyel, satu diantara sedikit orang yang dihasilkan oleh Lebanon sebagai tokoh yang dapat melahirkan renaissance baru di Timur Tengah, dan aku pun yakin bahwa Timur amat membutuhkan manusia seperti Dr. Shumayyel guna melawan pengaruh yang ditinggalkan oleh kaum “berbudi dan mistik” di Mesir dan Siria.

Apakah engkau telah membaca buku berbahasa Perancis karangan Khairallah Effendi Khairallah? Aku belum pernah melihatnya, tapi seorang teman memberitahu padaku, buku itu memuat juga sebuah bab mengenai engkau dan bab lain mengenai aku. Maka jika engkau mempunyai dua buah, kirimkanlah salah satunya kepadaku, dan semoga Tuhan memberimu pahala. Sudah larut malam sekarang, maka selamat malam dan semoga Tuhan melindungimu.

Salam,

Gibran Khalil Gibran