SURAT - 3

New York, 7 Februari 1919


nona May yang terhormat,

Suratmu mengingatkan aku kembali akan “kenangan seribu musim semi dan seribu musim gugur”, dan terbayanglah diriku berdiri di depan hantu-hantu itu yang raib dan bersembunyi dalam kesunyian segera setelah gunung berapi meletus di Eropa –ya, betapa lama kesunyian itu.

Tahukah engkau, kawan, bahwa biasanya aku menemukan pelipur lara, persahabatan, dan kesenangan dalam percakapan kita yang sering terputus itu? Dan tahukan engkau bahwa biasanya aku berkata dalam hati, “Di sanalah, nun jauhdi Timur, seorang yang lain dari gadis-gadis lain yang suadah memasuki kuil, bahkan sebelum ia lahir, telah berdiri di dalam tempat yang paling Kudus, dan telah mengetahui rahasia agung yang dijaga oleh ‘rahsasa-raksasa fajar’. Demikianlah dia, yang mengangkat negeriku menjadi negerinya. Tahukan engkau bahwa aku sering membisikan lagu pujian ini pada telinga bayanganku setiap kali aku menerima surat darimu? Jika engkau mengetahuinya, kiranya engkau tak akan berhenti menulis padaku –dalam pada itu engkau tahu pula mengapa engkau berhenti menulis—keputusan yang bukan tanpa kebijaksanaan dan pertimbangan yang baik.

Mengapa artikel tentang Sphinx, siapa yang tahu bahwa bukan aku yang memintanya terus-menerus kepada pemilik Al-Founoon –semoga Tuhan mengampuninya. Hal itu berlawanan denga sikapku yang suka memesan karya tulis pada penyair, terutama pada lingkunga kecil yang menemukan ilham hanya dari saran kehidupan sendiri; dan engkau termasuk dalam lingkungan ini. Lagi pula, aku tahu bahwa seni memang menandun tuntunan, meskipun tuntunan tidak dapat dibuat dari seni; dan bahwa sesuatu dalam tuntunan itu yang dapat mengurangi kesempurnaannya yang hakiki sebagai seniman. Andaikata engkau lantas menulis, “Kurasa aku tidak suka menulis artikel mengenai Sphinx sekarang”, maka aku akan bersorak, “Hidup May, ia punya watak artistik yang dapat diandalkan!”. Inti masalahnya ialah bahwa aku akan mendahuluimu menulis arrtikel tentang senyum Sphinx, sesudah itu aku akan menulis sajak tentang senyum Sphinx, dan jika aku punya lukisan senyumnya akan melukiskannya sekarang. Tapi aku harus mengunjungi Mesir guna melihat May dan senyumnya. Dan apakah yang bisa dikatakan oleh penyair tentang senyum seorang wanita? Apakah Leonardo da Vinci tidak mengucapkan sesuatu pernyataan tentang “Monica Lisa”-nya? Namun demikian, bukankah dalam senyum seorang dara Lebanon terdapat rahasian yang perlu dilihat dan digambarkan oleh pria Lebanon? Atau adakah wanita, apakah ia wanita Lebanon atau Italia, yang senyumnya menyembunyikan rahasia keabadian di balik cadar lembut susunan bibirnya?

Dan Si Gila—apa yang hendak kukatakan tentang Si Gila? Kukatakan di dalam nya terdapat unsur “kebengisan”, malam unsur “gua-gua gelap”, tapi aku tak pernah terpikir akan kritik semacam itu sebelumnya, walaupun aku banyak membaca apa yang dikatakan oleh surat khabar dan majalah di Amerika dan Eropa mengenai buku kecil ini. Yang menerik, kebanyakan penulis Barat menyukai dua bab yang berjudul “Temanku” dan “Para Pejalan Tidur”, yang diberinya tanggapan khusus; tapi engkau, Kawanku, melihat ada kebengisan di dalamnya. Apakah untungnya bagi seseorang jika ia memperoleh pengakuan dari seluruh dunia tapi tidak dari May? Adapun alasan yang menyebabkan orang-orang barat itu begitu senang akan Si Gila dan impiannya ialah bahwa mereka sudah bosan dengan impian mereka sendiri, dan punya kelemahan pembawaan terhadap sesuatu yang asing dan aneh, apalagi jika itu diberi baju Timur. Tapi mengenai parabel dan sajak-sajak yang dimuat dalam Al-Founoon, semua diterjemahkan diterjemahkan dalam bahawa Ingris oleh seorang pengarang yang cintanya terhadapku agak melebihi pengetahuannya tentang sulitnya lidah Inggris.

Aku telah mengingkarinya dengan tinta merah kata “muak”, yang tampak dalam tanggapanmu mengenai Si Gila; dan ini kulakukan kerena aku tahu, jika engkau memperhatikan “Para Pejalan Tidur” dan menghubungkan ucapan-ucapan Si Ibu dan Si Anak Perempuan dengan personifikasi “Kemarin” dan “Esok”, sebaiknyalah engkau mengganti kata “muak” dengan kata lain, bukan?

Apakah yang hendak kukatakan tentang gua-gua dalam jiwaku? Gua-gua yang mengerikan bagimu – ya, aku mencari perlindungan setelah aku makin bosan terhadap perilaku manusia, terhadap ladang-ladang suburnya yang justru menyakitkan hati dan hutan-hutannya yang terlalu merimba. Aku menarik diri ke dalam gua-gua jiwaku bila aku tidak menemukan tempat lain guna membaringkan kepalaku; dan jika beberapa di antara mereka yang kucintai memeliki keeranian memasuki gua-gua ini. Mereka tidak menjumpai sesuatu kecuali seorang manusia yang bersujud mengucapkan doanya.

Aku senang, tiga ilustrasi dan Si Gila kauanggap bagus, dan itu merupakan petunjuk bahwa engkau memiliki mata (penglihatan) ketiga pada kedua belah matamu, karena aku pun mengetahui di balik telingamu terdapat telinga lagi yang ersembunyi, yang dapat mendengarkan bunyi yang amat indah laksana keheningan—bunyi yang tidak diciptakan oleh bibir dan lidah, tapi yang berasal dari balik lidah dan bibir, bunyi kesunyian yang manis, bunyi kegembiraan dan kepedihan, dan bunyi kerinduan akan sesuatu yang tidak dikenal nun di dunia yang jauh.

Bila aku menjelaskan bahwa “Mereka yang memahami kita, menundukkan sesuatu dalam diri kita”, engkau bertanya apakah aku menyerupai seseorang agar seseorang daat memahami. Tidak! Tidak! Aku tidak menginginkan seseorang manusia memahami diriku jika punya arti menuntut perbudakan roaniah. Banyak orang yang dapat memahami dirinya karene mereka menemukan dalam tindak-tanduk “luar” kita agar dekat dengan apa yang mereka alami sekali saja dalam hidupnya. Tidaklah cukup (bagi mereka) untuk mengakui bahwa mereka mengetahui rahasia –rahasia dalam diri kita yang tidak kita ketahui—tapi mereka mengharuskan diri mencatat dan memberi kita suatu sebutan, dan menempatkan kita dalam salah satu di antara banyak kelompok pemikiran dan gagasan, seperti ahli kimia yang lagi menghadapi botol-botol obat dan bubuk. Penulis yang menuduhmu meniru aku dalam beerapa tulisan – bukanlah mereka termasuk orang-orang yang mengaku kiranya bagimu untuk meyakinkannya, bahwa kebebasan merupakan garis awal bagi jiwa untuk bergerak maju, dan bahwa pohon Eik tak dapat tumbuh di bawah bayangan pohon Wilo, begitu pula sebaliknya.

Telah sampai disini tulisanku, namun sedikit pun belum menyebutkan maksud seperti yang hendak kukatakan tatkala mengawali suratku ini tadi. Siapa diantara kita berdua yang mampu menjelmakan kabut yang halus menjadi patung atau sosok pahatan? Tapi sang dara Lebanon yang mampu mendengar bunyi di balik bunyi itu tentu dapat melihat dengan terang perwujudan maupun roh yang berada dalam kabut.

Semoga jiwamu yang indah dan hatimu yang mulia berada dala ketentraman. Tuhan melindungimu.

Salamku,

Gibran Khalil Gibran