Dekatkan dahimu, Mariam, ya, dekatkan padaku. Ada sekuntum mawar putih dalam hatiku yang ingin kusemaikan di dekat dahimu. Betapa manisnya cinta bila mawar itu gemetar menahan malu ...
(Nukilan dari surat Khalil Gibran kepada May Ziadah)
Saya tenggelam di bawah cakrawala nun jauh di sana, dan di sela awan-awan senja yang bentuknya nan mempesona, muncullah sekunar bintang. Bintang Johar, Sewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang itu juga dihuni oleh insan seperti kita, yang saling mencintai dan mendendam rindu ...?
(Nukilan dari surat May Ziadah kepada Khalil Gibran)
Untaian kalimat semi kalimat Khalil Gibran yang puitis dan mengandung makna kefilsafatan, dikenal oleh para meninat sastra di seluruh dunia, terutama melalui buah penanya The Prophet (Sang Nabi) , yang telah terbit dalam dua puluh bahasa.
Kepunjanggaan Gibran niscaya tidak terlepas dari latar belakang hidupnya, perkembangan pandangan hidupnya, serta berbagai peristiwa yan dialaminya, dikajinya, direnunginya.
Sebagai orang ebanon kelahiran Bishari tahun 1883, meskipun sejak remaja telah bermigrasi bersama ibunya ke Boston, Amerika Serikat, dan kemudian ke New York, tapi keakrabannya dengan alam pegunungan tanah kelahirannya kerap kal muncul dalam kenangan, dan amat mempengaruhi daya pengucapan artistiknya. “Bagiku Lebanon merupakan ekspresi poetika, bukan nama sebuah gunung”, kata Gibran.
Masa kepengarangan Gibran terbagi dalam dua tahap; tahap pertama mulai tahun 1905 dengan karya-karyanya yang berbahasa Arab:
- Al-Musiqah (Musik; 1905)
- ‘Ara’is Al-Muruj (Putri-Putri Lembah; 1906)
- Al-Arwah Al Mutamarridah (Arwah Pemberontak; 1908)
- Al-Ajniha’l Mutakassirah (Sayap-Sayap Patah; 1912), dan
- Dam’ah Wa’Ibtidamah (Air Mata dan Senyum; 1914)
Tahap kedua mulai tahun 1918 dengan menulis buku-bukunya yang berbahasa Inggris antara lain yang terkenal :
The Madman (Si Gila; 1918)
- The Prophet (Sang Nabi; 1923)
- Sand and Foam (Pasir dan Buih; 1926)
- The Wanderer (Sang Musafir; 1932)
- The Garden of The Prophet (Taman Sang Nabi; 1933)
Dan judul terakhir terbit secara anumerta. Namun dalam tahap ini ia menghasilkan pula tiga buah karya dalam bahasa Arab:
- Al-Muwakib (Profesi; 1919)
- Al-‘Awasif (Prahara; 1920)
- Al Badayi’i Wa’l Tarayif (Kata-Kata Mutiara; 1923)
Dalam tahap pertama masa kepengarangannya ia kerap menuarakan kepedihan dan kekecewaan hati manusia, tapi juga menyarankan perlunya perubahan tata masyarakat demi keluhuran budi. Ia pun mengecam ketidak adilan terhadap wanita, penjajahan rohani, dan kecurangan. Perhatiannya tertuju pada alam “di seberang cakrawala”, alam semesta, penitisan, dan perlambang alam. Setelah kepindahannya ke New York, sekalipun ia terkesan oleh penemuan teknologi modern, tapi baginya segala ciptaan Tuhan seperti bintang, kembang, dan kabut, merupakan dunia tersendiri yang mengandung keindahan semesta.
Sebagai manusia Gibran pun mengenal cinta, dan memandang cinta sebagai sesuatu yang suci, yang ilahiah. Ia pun merasakan kekecewaaan dan kegetiran cinta, tapi tapi mampu menghayati dan mengagungkan madu cinta. Pernah hatinya tertabat pada seseorajng wanita yang benar-benar dicintainya --- seorang Lebanon, May Ziadah namanya. Siapa dia?
Wanita ini adalah sastrawati dan kritikus Arab yang terkemuka pada tiga dasawarsa pertama abad ini. Dia anak tunggal Elias Zakhur Ziadah, dan dilahirkan di Nasareth, Palestina, tahun 1886. tahun 1908 Elias Zakhur Ziada pindah ke Kairo; di sana akhirnya ia menjadi direktur harian Al-Mahrousah. Adapun May yang berpendidikan dan cerdas, berhasil mengembangkan bakatnya di Kairo, yang waktu itu menjadi pusat perkembangan sastra Arab. Di tahun 1911 May untuk pertama kali menerbitkan bukunya Fleurs de Reve (Bunga-bunga Inpian), dengan nama samaran Isis Copia, yang menunjukkan kecendekiaan dan ketekunannya. Secara teratur ia memuatkan artikelnya dalam harian dan majalah terkemuka, antara lain dalam Al-Mahrousah, Al-Ahram, Al-Hilal, Al-Muqattam, Al-Muqtattaf, majalah berbahasa Perancis Progres Egyptein dan majalah berhasa inggris Egyptan Mail. Tulisannya yang berupa resensi dan sorotan sastra menyebabkannya berkenalan dengan Khalil Gibran. Walaupun keduanya hanya saling mengenal melalui surat, akhirnya tumbuhlah hubungan cinta, yang semakin mendalam, mencapai keseimbangan, keselarasan, dam pengertian.
May banyak bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh sastra Arab, dan buah pikirannya diakui oleh banyak pihak memang berpengaruh pada perkembangan sastra Arab moderen. Kecendekiaannya dan kecantikannya menarik perhatian dan pujian dari tokoh-tokoh sastra seperti Lutfi Al Sayyid, Taha Hussein, Yaqoub Sarrouf, Mustafa Sadek al-Rafi’i, Edgar Jallad dan lain-lain. Kepandaian, gagasan, dan penampilannya sering menjadi ilham bagi sastrawan lain. Ia pun tampil dalam gerakan emansipasi wanita.
Antara tahun 1927 dan 1931 ia kehilangan empat orang yang paling disayangi dan dicintainya: ayahnya, ibunya, Ya’ coub Sarrouf ---teman dalam bidang sastra yang setia dan sepaham, dan Khalil Gibran--- pria yang benar-benar dicintainya. Kesehatan badanyya menurun, sehingga perlu mengadakan perjalanan tetirah ke Perancis, Inggris, dan Italia. Seorang temannya mengatakan, bahwa May pernah berusaha bunuh diri, tetapi berhasil diselamatkan. Dan seorang sahabatnya yang lain, Ameen Rihani, berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya sehingga bersedia kembali dalam kegiatan sastra. Pada tahun 1938 May sanggup berdiri di mimbar American University, Beirut, memberikan kuliah berjudul “Amanah Penulis bagi Kehidupan Arab”. Namun demikian ia lebih suka menyepi, dan meskipun memutuskan untuk kembali ke Kairo, kesehatannya tidak sempurna. Tiga tahun kemudian ia meningga dalam kesunyian. Namun ia sadar dan dapat menerima kegetiran hidupnya, sebagaimana ucapannya pada hari-hari terakhir hidupnya, “penderitaan besar adalah pengkudusan agung ...”.
Hubungan cinta antara Khalil Gibran dan May Ziadah niscaya merupakan hubungan cinta yang cukup aneh dan menarik –keduanya terpisah jauh, May di Kairo dan Gibran di New York, belum pernah bertemu muka. Hubungan mereka hanya terbatas pada surat, namun dapat membayangkan cinta masing-masing melalui khayalan dan mimpi, melalui perjalanan roh masing-masing agar dapat bersama-sama menemukan kebenaran yang sejati dan abadi.
Surat-surat antar Gibran dan May itu bermula tahun 1912, dan berlanjut sampai tahun 1931 tahun kematian Gibran. Mula-mula surat-surat itu merupakan tukar-menukat pendapat, disertai pujian dan kritik. May memang sudah membaca Sayap-sayap Patah sebelum menulis surat pertamanya kepada Gibran. Ia memuji gaya yang digunakan Gibran dalam menulis novel itu, tapi ia menyatakan tidak bersimpati terhadap tokoh utama wanita, Selma, seorang istri yang “bertemu” dengan kekasih rahasianya selagi berdoa. Surat-surat selanjutnya makin mengeratkan hubungan batin, bahkan menumbuhkan cinta yang mendalam.
Tidak semua surat dari kedua belah pihak dapat sitemukan. Sebagian di antara surat-surat yang tersimpan belum diizinkan untuk diterbitkan oleh keluarga yang bersangkutan. Betapa halus cinta May kepada Gibran terlukis dalam surat gadis itu:
“.... tidak mungkin Bintang Johar itu seperti aku juga: ia mempunyai Gibran-nya sendiri --- yang berada nun jauh disana, tapi sebenarnya amat dekat di hatinya. Dan tidak mungkinkah pula Bintang Johar itu sedang menulis surat kepada Gibran-nya. Saat ini juga, saat senjakala bergetar di ujung cakrawala, karena tahu bahwa gelap akan melulur senja, dan esok terang pun akan mengusir gelap; ia pun sadar bahwa malam akan menggantikan siang, siang pun besok menggantikan malam, silih berganti terus-menerus, sampai kelak ia dapat bertemu dengan kekasihnya itu. Saat ini keheningan ujung senja pun telah memeluknya, diikuti dengan kesunain malam. Ditaruhnya penanya, lalu berlindung dari kegelapan di balik tameng sebuah nama: Gibran....”
Purwokerto, September 2007
Bala-Gibran